Minggu, 18 Oktober 2009

Busuk

Dunia ini sudah busuk.

Rabu pagi, pojokan kelas, istirahat pertama, serta gigitan ketiga setangkap roti selai stroberi—klausa sarkas itu mendadak terlintas di pikiranku. Aneh. Tak biasanya aku berpikiran sekasar ini, apalagi pada dunia. Dunia yang sudah rela dan ikhlas aku injak-injak secara gratis selama 17 tahun ini. Sungguh tak tahu terima kasih. Tapi mungkinkah aku terpengaruh oleh sindrom bencana alam beruntun yang kerap menimpa dunia ini sehingga berpikiran seperti itu? Ataukah ini hanya sekedar serpihan dari beratus juta pikiran anehku saja?

Manik mataku membesar, pandangan mulai diedarkan. Suasana kelas mulai sepi, dan yang tersisa hanya tiga pasang sejoli berdarah muda yang tersebar ke daerah pojokan kelas. Aku memandangi mereka, dalam. Seketika teringat perkataan salah satu teman perempuanku: so sweet. Huek. Rasanya aku ingin muntah saat mengingat kata itu. Kenapa? Karena sebenarnya diri ini hanya merefleksikan satu kata saja: nafsu. Atau lebih tepatnya, nafsu yang direplikasi dan dikamuflasekan lalu diberi nama cinta.

Aku tak tahu mengapa mereka senang berlaku seperti itu, karena aku tak pernah sekalipun berlaku seperti itu. Mataku memandang lagi. Nanar. Sungguh, mereka semua adalah penyembah satu Tuhan, dan lancar membaca firman-Nya. Tapi apakah asosiasi budaya para ras miskin pigmen itu dapat mengalahkan pedoman agama mereka? Dan apakah mereka mendapat manfaat dari perilaku seperti itu? Kurasa tidak. Ingin rasanya mulut ini mengatakan kebenaran pada mereka, tapi sayang, terbentur oleh portal yang bernama pertemanan dan sensitivitas. Lagipula apa gunanya menegur mereka kalau ternyata masih banyak sejoli diluar sana yang lebih asusila? Percuma.

Kebusukan ini bermula dari nafsu.

Sebuah klausa terlintas—lagi.

“Chi, kerjain tugas kesenian yuk!“

Glek. Mendadak serpihan kulit roti tersangkut di kerongkongan. Segera kuambil botol minum oranye dan kutumpahkan isinya ke dalam kerongkongan seraya mengangguk asal, “Uhuk. Oke deh.“

***


“Bagian saya mana, Pak?“

“Tenang aja, Din. Kamu pasti dapet. Uangnya masih di rekening saya, ada orang tua murid baru yang belum transfer. Nanti kalau udah terkumpul semua saya bagi rata.“

“Dibagi rata? Disini kan ada 50 lebih guru, nanti dapetnya dikit dong? Jangan gitu dong Pak. “

“Yaelah, Din. Lu jangan bego kayak para orang tua murid baru yang mau-mau aja kita porotin itu dong. Yang dibagi yang deket sama saya aja lah.“
“Oh. Oke deh, sip Bos!“

Bruk.

Modul Biologi kelas 3 SMA—jatuh, sehingga membuat dua lelaki yang sedang berbincang di dalam ruangan itu menoleh ke jendela. Bersyukur awan di sore ini sedang berkabung, meminimalisir cahaya matahari yang bisa merefleksikan wajahku. Refleks, aku langsung mengambil modul lalu berlari tergesa-gesa menuju gerbang Sekolah Menengah Atas ini.

Ralat, Sekolah Maling Atas.

Langit mendung dan awan berkabung serta sesosok perempuan nerdus menjadi saksi atas perubahan nama itu. Haha. Sungguh ironis, kawan. Instansi pendidikan yang seharusnya mengayomi serta mendidik generasi penerus bangsa, malah melakukan tindakan terkutuk, padahal setiap hari ucapan baik beserta wejangan selalu diberikan kepada anak didiknya. Lalu dikemanakan semua wejangan itu? Apa itu hanya omong kosong dan bualan sampah yang digunakan untuk mendapat gaji dari profesinya?

Dasar manusia berotak tikus got.

“Hoi, Chi! Pulang bareng yuk!“

Interupsi datang, membuyarkan segala lamunan. Kutolehkan kepalaku ke samping, dan retina langsung merefleksikan bayangan Hima, teman sekelasku. Anggukan singkat serta seulas senyum simpul terukir, “Ayo!“

***


“Bang, SMS siapaahh... si abaang. Bang katanya pake sayang, sayaaangh...“

Hppft—suara yang dikeluarkan oleh semua penumpang angkot. Refleks, aku langsung menutup mulutku dengan tangan ketika seorang perempuan jadi-jadian melantunkan lagu di kala lampu merah. Syair lagu pun terus berjalan, tetapi pikiranku tak sejalan. Salahkan rok ketat beserta tanktop yang melekat pada badan kekar hasil operasi itu. Kulit sawo matang yang tidak kompatibel dengan polesan make-up serta suara bass yang dipaksa alto menambah ciri kromosom Y dari manusia itu.

Sungguh wanita perkasa.

Katakan mulutku jahat, hujat karena pikiran ku sarkas—aku terima. Tapi entah mengapa, kali ini integrasi antara sel-sel otakku berkata lain. Berkata sesuatu yang lebih... lembut.

Kasihan.

Bukannya di tolong, manusia yang sakit mental sehingga melanggar kodratnya ini malah ditertawakan. Jahat. Dan tolong diingat, memberinya uang receh bukan suatu pertolongan. Kenapa? Karena hal itu membuat dirinya terus menerus berbuat seperti itu, membentuk sebuah sugesti bahwa ‘ini adalah cara yang benar untuk mencari nafkah‘. Padahal benar-benar salah, dan dilaknat oleh Tuhan. Kalau begitu bagaimana cara menolongnya?

Berdoa saja agar Tuhan memberikan hidayah padanya.

Itu saja, sepertinya cukup. Memangnya mau apa lagi?

***


Selamat, Anda mendapatkan hadiah bernilai 500 juta rupiah. Untuk keteranga lebih lanjut, silahkan hubungi nomor ini 08236542378. Jangan sampai kelewatan!
Dari: 08956423567


Tsk. Cara klasik.

Handphone hitam berkamera VGA terhempas di atas kasur bersamaku. Kuhirup oksigen dalam-dalam, karbon dioksida pun segera keluar. Capek, dan kegiatan sekolah hari ini bukan alasannya. Lalu apa? Yap, SMS itu. Aku letih melihat SMS penipuan klasik seperti itu, dan lebih letih lagi ketika melihat berita di televisi bahwa masih ada saja manusia yang tertipu oleh tipuan cetek macam itu. Tolol.
Kutaruh bantal guling diatas dua lapis bantal, kujadikan sandaran. Kucoba memejamkan mata untuk tidur siang sebentar, dan menikmati imaji setengah tidur yang abstrak. Kuharap aku segera bermimpi, tapi tidak. Ingatan-ingatan fotografis sejak istirahat pertama sampai di angkot tadi sekelebat tampak pada alam pikiranku. Dan hal itu semua merangsang sel-sel neuron otak untuk berintegrasi secara absurd lagi, lagi dan lagi.

Dunia ini sudah busuk.

Maafkan aku dunia, klausa itu muncul dalam pikiranku lagi. Salahkan pola integrasi absurd sel-sel neuron ini. Tapi nyatanya bukti-bukti dari kebusukan itu sudah terungkap secara implisit tadi. Kamuflase nafsu, manusia-manusia tikus, melanggar kodrat, serta penipu barusan. Dan dengan sangat menyesal,aku tak dapat memungkirinya. Aku mengakuinya.

Wahai dunia, kau memang sudah busuk. Bukan karena dirimu, bukan. Tapi akibat perilaku penghuni gratisan-mu yang katanya berakal tapi tidak tahu diri ini. Berbuat kerusakan seenaknya, padahal hakikat mereka berada disini adalah untuk merawat dan memanfaatkan segala kekayaanmu dengan sebaik-baiknya. Tapi apa yang terjadi? Semua kekayaanmu mereka habiskan, terlebih lagi ditambah dengan perilaku asusila yang terus terjadi. Kau pasti merasa sakit, aku tahu itu. Dan aku kasihan padamu, dunia. Tapi apa yang dapat kulakukan? Tidak ada. Bagaimanapun juga, aku bagian dari mereka. Aku seorang Homo Sapiens. Yang bisa aku lakukan hanya bisa berpikir, tanpa melakukan sesuatu yang signifikan, sementara manusia lain asyik melakukan kerusakan tanpa rasa bersalah dan kepura-puratidaktahuan.

Tuhan, kenapa kau tidak marah?

***


Kelopak mata mulai bergetar, tak lama manik hitam pun mulai tampak. Bayangan yang direfleksikan retina masih kabur—seperti biasa. Kuraba samping kanan untuk mencari kacamata silinder, tidak ada. Kuraba sisi kiri, nihil. Yang aku temukan malah puing-puing bangunan beserta pecahan kaca dan tanah. Kupijakkan kaki ke atas tanah. Bruk—tersandung batu bata. Perlahan kukerutkan otot atas mata, dan bayangan kabur mulai menajam. Tebak, apa yang aku lihat?

Langit, yang terlalu luas. Membentang, tanpa halangan gedung-gedung dan rumah seperti biasa—karena semua bangunan itu sudah… rata dengan tanah.

Bruk.

Lututku menabrak tanah yang retak—sakit. Tapi tak sesakit apa yang dirasakan hati ini. Kutolehkan kepala ke segala arah, sepi. Tak ada makhluk hidup disini. Yang ada hanya sesosok tubuh Bu Linda, tetangga sebelah, yang sudah membiru dan tertimpa runtuhan bangunan. Kucoba melangkah sedikit kedepan, suasana yang tampak lebih mengenaskan. Bu Yesi, Pak Toni, Ina, beserta tetangga lainnya sudah membiru, tak bergerak. Tiba-tiba saja jantungku berdentum keras, nafasku sesak.

Ibu, ayah, kakak, adik, kalian dimana?

Seluruh badanku gemetar, namun aku tetap memaksakan diri untuk berjalan sekitar puing-puing rumah untuk mencari mereka. Serpihan kayu, genteng, tumpukan batu bata, sudah kucari dan hasilnya nihil. Tak terasa bulir air mata sudah mengucur deras, menemani pencarianku. Dan hasilnya tetap sama; nihil. Sungguh, kenyataan ini terlalu menyeramkan. Seseorang tolong beritahu aku, apa yang baru saja terjadi?

Tuhan baru saja marah.

-TAMAT-

2 komentar:

desu ka? mengatakan...

karena si mblog nyuruh: "Tinggalkan komentar Anda. Isilah dengan jujur!"

maka gua mau bilang:
YOAR FUKIN AWSME!

>_< \m/

isengdoang mengatakan...

Wakakaka =))

Makasih, btw.

Itu cerpen yg tugas basa Indonesia loh. (ga penting)